Memahami Makna "Wasathan"

info-nurulislam.or.id - Islam adalah agama yang memiliki ajaran moderat. Sebab, Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap adil, berimbang, dan proporsional. Ajaran moderat ini meliputi seluruh aspek kehidupan muslim, baik dalam beribadah, bermuamalah, maupun bekerja. Sebagai contoh, Islam melalui – Al-Qur’an – memerintahkan pemeluknya untuk mencari karunia Allah di akhirat, namun pada saat yang sama mereka juga h arus memperhatikan kehidupan dunia. Firman Allah swt :

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash [28] ayat 77).

Ajaran Moderat juga dapat ditemukan dalam ayat-ayat lain. Misalnya, surah al-Baqarah [2] ayat 143 yang berbunyi:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 143)

Dalam khazanah Islam klasik, pengertian wasathiyah terdapat banyak pendapat dari para ulama yang senada dengan pengertian tersebut, seperti Ibnu ‘Asyur, al-Asfahany, Wahbah al-Zuḥaily, al-Thabary, Ibnu Katsir dan lain sebagainya.

Menurut Ibnu ‘Asyur, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.

Menurut al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di antara dua batas (a’un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan ekstrem (tafrith).

Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan bahwa kata al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau مَرْكَزُ الدَّائِرَةِ, kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji, seperti pemberani adalah pertengahan di antara dua ujung.

Ummatan washatan adalah umat yang bersikap, berpikiran, dan berperilaku moderasi, adil, dan proporsional antara kepentingan material dan spiritual, ketuhanan dan kemanusiaan, masa lalu dan masa depan, akal dan wahyu, individu dan kelompok, realisme dan idealisme, dan orientasi duniawi dan ukhrawi.

Umat yang mengambil jalan tengah berarti tidak kikir dan tidak boros, tidak berlebihan sekaligus tidak berkekurangan.

Semuanya dilakukan secara seimbang, proporsional, dan adil, tidak berat sebelah, dan tidak zhalim. Menurut Ibn Faris, wasath itu menunjukkan arti adil dan pertengahan.

Makna inilah yang dikehendaki ayat 143 surat al-Baqarah tersebut. Sedangkan menurut al-Zubaidi, wasath itu artinya yang paling utama (afdhal) dan pilihan. Demikian pula pendapat Ibn Manzhur dan Fairuzzabadi, wasath berarti paling adil (a’daluhu).

At-Thabari, ketika menafsirkan ayat Ummatan wasathan tersebut, mengartikannya sebagai udulan (umat yang adil) dan khiyar (pilihan).

Umat pilihan adalah umat yang berlaku adil. Ibn Katsir juga menyatakan yang dimaksud ayat 143 al-Baqarah tersebut adalah al-khiyar wa al-ajwad (pilihan dan yang terbaik).

Ada dua sifat utama yang melekat pada ummatan wasathan, yaitu: (1) al-khairiyyah, serba berorientasi yang terbaik, afdal dan adil; dan (2) al-Bainiyyah, pertengahan, moderat, tidak ekstrem kanan dan ekstrim kiri.

Hal ini antara lain dapat dipahami dari ayat: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir; dan pembelanjaannya itu berada di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. al-Furqan/25: 67)

Berdasarkan pengertian tersebut, seringkali dipersoalkan mengapa Allah lebih memilih menggunakan kata al-wasath dari pada kata “al-khiyar”? Jawaban terkait hal ini setidaknya ada dua sebab, yaitu:

Pertama, Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain. Sedangkan posisi saksi semestinya harus berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang (proporsional). Lain halnya jika ia hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa memberikan penilaian dengan baik.

Kedua, penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik, karena mereka berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah.

Penafsiran ulama tafsir klasik-pertengahan di atas turut diadopsi oleh mufasir-mufasir Indonesia. Misalnya, Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya Marah Labid li Kasyf Ma’na al-Qur’an al-Majid (hlm. 49)

Memaknai ummatan wasathan dengan arti umat adil dan terbaik yang terpuji karena ilmu dan amalnya. Inilah modal mereka untuk menjadi saksi bagi seluruh manusia di akhirat kelak tentang kebenaran penyampaian risalah oleh para nabi.

Mufasir Indonesia lain yang menafsirkan ummatan wasathan sebagai umat moderat adalah Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (jilid 1, hlm. 343). Secara konkret ia menafsirkan, “Dan demikian pula Kami menjadikan kamu wahai umat Islam ummatan wasathan (pertengahan) moderat dan teladan sehingga dengan demikian keberadaan kamu dalam posisi pertengahan itu, sesuai dengan Kakbah yang berada di posisi pertengahan pula..”

Ditinjau dari segi terminologinya, makna kata “wasathan” yaitu pertengahan sebagai keseimbangan (al-tawazun), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan: spiritualitas (ruhiyah) dengan material (madiyah). Individualitas (fardiyyah) dengan kolektivitas (jama’iyyah). Kontekstual (waqi’iyyah) dengan tekstual. Konsisten (tsabat) dengan perubahan (taghayyur). Oleh karena itu, sesungguhnya keseimbangan adalah watak alam raya (universum), sekaligus menjadi watak dari Islam sebagai risalah abadi.

Bahkan, amal menurut Islam bernilai shaleh apabila amal tersebut diletakkan dalam prinsip-prinsip keseimbangan antara theocentris (hablun minallah) dan anthropocentris (hablun min al-nas).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna ummatan wasathan ada tiga, yaitu; pertengahan (moderat), adil, dan terbaik (pilihan). Satu hal yang patut ditadabburi dari surah al-Baqarah [2] ayat 143 di atas selain Allah telah menjadikan umat nabi Muhammad sebagai umat terbaik, moderat, dan adil, yakni apakah sudah kita sebagai umat Islam berusaha mewujudkan “label” tersebut pada diri kita semua? Wallahu a’lam.***
Kang

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama