MASIH ingat kisah Kurban Nabi Ibrahim? Kisah tersebut dipaparkan
secara gamblang dalam Al-Qur’an surat Ash-Shafat ayat 99 sampai 111.
Ibrahim mendapat wahyu dari Allah melalui mimpinya untuk menyembelih
anak semata wayangnya. Sebagai seorang ayah tentu saja Ibrahim berat
melakukan ini. Tetapi kesadarannya bahwa ini adalah wahyu Allah
mengalahkan segala pertimbangan rasa dan rasio. Tidak ada pilihan bagi
Ibrahim kecuali melakukan dan memberi tahu anaknya perihal itu.
Mari perhatikan dengan saksama bagaimana Ibrahim menyampaikan
perintah berat ini kepada anaknya. Dalam Al-Qur’an dengan sangat
disebutkan kata-kata Ibrahim kepada Ismail yang bermakna sebagai
beriktut :
“Duhai, Anakku sayang! Semalam ayah bermimpi menyembelihmu. Bagaimana menurut pendapatmu?”
Untuk bisa memahami pesan dalama konteks evaluasi pendidikan karakter
dari dialog Ibrahim tersebut, harus dipahami terlebih dahulu bahwa
mimpi para Nabi adalah wahyu. Jadi bukan sembarang mimpi. Maka ketika
Ibrahim bermimpi menyembelih Ismail itu artinya wahyu dari Allah untuk
menyembelihnya. Tetapi ketika menyampaikan itu kepada Ismail, anaknya,
Ibrahim tidak menggunakan kata-kata, “Nak, ayah diperintah Allah untuk menyembelihmu.” Padahal sejatinya itu adalah perintah.
Ibrahim mengomunikasikan urusan penyembelihan itu dengan kata-kata
bermimpi, seakan-akan penyembelihan itu datang dari dirinya sendiri
bukan sebagai sebuah perintah Allah. Mengapa? Di sinilah tersimpan pesan
bagaimana seorang ayah menguji karakter anaknya.
Menurut para ahli tafsir Al-Qur’an kenamaan seperti Ar-Razi,
Al-Qurthubi, Ibn Katsir, ungkapan yang sedemikian rupa itu dikarenakan
Ibrahim ingin menguji setaat dan sepatuh apa Ismail kepada seorang ayah.
Dalam momen yang begitu penting, genting, dan dramatikal itu, Ibrahim
yang telah mendidik Ismail dengan ajaran tauhid merasa perlu menguji
karakter kepatuhan dan hormat seorang anak kepada orang tua.
Cara Ibrahim mengevaluasi karakter Ismail ternyata efektif. Ismail
menunjukkan karakter patuh dan hormat kepada sang Ayah dengan memberikan
jawaban yang makin membuat Ibrahim sayang dan cinta kepada Ismail,
“Ayah, lakukan saja apa yang diperintahkan kepada Ayah. Insya Allah, Ayah akan dapati aku sabar menghadapi ini.”
Bukankah dengan jawaban itu, sebagai ayah Ibrahim akan makin sayang
pada Ismail. Makin berat untuk mengorbankannya. Disitulah juga terletak
hebatnya perjuangan mental dan emosional Ibrahim dalam memenuhi perintah
Allah. Dan Ibrahim pun lulus menempuh ujian berat ini.
Lalu bagaimana cara menerapkan metode Ibrahim ini dalam kehidupan kita sekarang?
Sebagai orang tua atau guru, tugas utama dalam membentuk karakter
anak adalah menanamkan prinsip-prinsip tauhid dan akhlak dalam diri anak
sedini mungkin. Ketika wahyu menyembelih diterima Ibrahim, Ismail saat
itu baru berusia 13 tahun, seusia anak yang baru lulus SD. Dialog adalah
cara terbaik mengajarkan hal ini seperti yang dicontohkan oleh Ibrahim.
Ciptakan dialog-dialog tauhid dan karakter di rumah kita, di ruang
makan, ruang istirahat, dan di kamar tidur anak. Bahkan dalam setiap
kesempatan kita bersama anak.
Biasanya orang tua khawatir dengan perkembangan karakter anak, lalu
dengan tergesa-gesa menyuruh kebaikan kepada anak dengan pendekatan
doktrin atau bahkan intimidasi. Berikan kepercayaan kepada anak untuk
menguji karakter mereka. Misalnya, sesekali biarkan anak berinternet
untuk menguji bisakah anak menerapkan karakter yang telah dibangun di
rumah saat ia berselancar di dunia maya.
Sesekali izinkan anak bermain ke luar rumah bersama temannya, untuk
menguji bisakah anak menerapkan karakter peduli dan disiplin dalam
pergaulan. Sesekali suruhlah anak melakukan sebuah tugas rumah, untuk
menguji sepatuh apa kepada orang tua. Sesekali biarkan anak bersama
adik-adiknya, untuk menguji karakter sayang dan tanggung jawab sebagai
kakak. [islampos]