Demikian lengkap dan sempurna, hanya sayangnya kebanyakan kaum
muslimin justru mengabaikannya. Di samping dikarenakan awam, sebagian
kita merasa cukup
jika ia telah menunaikan shalat, berpuasa Ramadhan, zakat, atau (jika
mampu) berhaji. Padahal semestinya jika ibadah-ibadah tersebut
dikerjakan dengan baik, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah n, dapat
membuahkan akhlak yang baik bagi pelakunya. Maka lebih-lebih jika
kandungan Islam lainnya dipraktikkan dengan dilandasi akidah yang benar,
niscaya kemaslahatan dalam berkeluarga dan bermasyarakat akan terwujud.
Tidak akan kita jumpai tetangga yang saling mengganggu baik dengan
lisan maupun tindakannya. Tidak ada anak yang membangkang terhadap
orangtuanya. Tidak perlu pula ada pertumpahan darah hanya karena berebut
warisan. Intinya, tidak akan kita jumpai kezaliman antar sesama anak
manusia karena segalanya diliputi kesejukan dan kedamaian.
Sudah semestinya, jika kita dikaruniai hidayah bisa mengenal Islam
secara benar dengan dalil-dalilnya, berupaya memelopori sekaligus
mendakwahkan penerapan adab-adab Islam di tengah masyarakat. Meski perlu
dicatat, kita dihadapkan pada masyarakat awam yang heterogen yang tentu
saja pemahamannya masih karut marut. Ada yang fanatik ormas, fanatik
mazhab, fanatik partai, kultus serta taklid buta dengan individu
tertentu, dsb. Ada yang menganggap kesyirikan sebagai wasilah (sarana)
mendekatkan diri kepada Allah l. Ada pula yang tidak paham sunnah bahkan
sampai pada taraf mencelanya, dan sebagainya.
Oleh karena itu mendakwahi masyarakat umum jelas dibutuhkan sikap
bijak. Bergelutnya mereka dengan syirik, bid’ah, maupun maksiat, tidak
lantas disikapi secara sama rata. Mengenalkan al-haq (sesuai kemampuan)
kepada mereka menjadi tahapan yang harus dikedepankan. Bukan belum-belum
sudah menjaga jarak serta dengan mudahnya memvonis orang lain sebagai
“ahlul maksiat” sehingga itu dijadikan dalil untuk menjauhi bahkan
memusuhi mereka. Padahal bisa jadi orang yang dimaksud tak pernah
mengerti halal-haram, sekadar ikut-ikutan dengan tradisi yang telah
berkembang di masyarakat, bahkan ada yang sangat asing dengan
ajaran-ajaran Islam.
Semestinya kita menyuburkan sikap empati dengan sejenak menengok ke
belakang saat kita belum mengenal dakwah, belum mengenal mana tauhid dan
mana syirik, mana halal mana haram, serta mana sunnah dan mana bid’ah.
Masa-masa itulah yang tengah dihadapi masyarakat umumnya. Lebih-lebih
kita sadar bahwa pada dasarnya syariat itu berat dibandingkan hawa
nafsu. Sehingga itu menjadi pelecut semangat kita untuk tidak surut
dalam mendakwahi masyarakat awam, tentunya dengan tetap menaati
rambu-rambu syariat. Jangan sampai sikap yang tidak pada tempatnya
justru membuat masyarakat lari. Kita tanamkan di benak kaum muslimin,
Islam tidaklah seram, tidak kaku, ….karena Islam itu indah!