Seleksi guru teladan (guru berprestasi istilah saat ini) sebenarnya merupakan ajang melihat dan refleksi diri bagi para guru. Kadang seorang guru telah merasa dirinya sudah paling bagus, paling super, paling berhasil dalam mengajar diantara teman te...man di sekolah di mana guru tersebut berada. Indikator yang mudah ditemukan adalah ketika kumpul sesama guru yang sifatnya non formal, sering terlontar bahwam dirinyalah yang paling bagus dalam mengajar, dirinyalah yang paling menguasai dalam materi pembelajaran, dirinyalah yang paling baik dalam mencetuskan ide, dirinyalah yang paling bisa dalam mengatasi masalah siswa nakal, siswa pandai, dan masih banyak lagi yang lain.
Memang tidak dipungkiri bahwa setiap orang (termasuk guru) memiliki kecenderungan untuk sombong, mengunggulkan dirinya dibanding dengan teman atau orang lain. Relatif sedikit guru yang menyadari bahwa dirinya mempunyai banyak kekurangan.
Cerita-cerita di depan kelas ketika mengajar juga mengindikasikan kecenderungan untuk sombong di hadapan para siswanya. Namun ketika ada edaran seleksi guru teladan (guru berprestasi), lomba karya tulis, lomba karya ilmiah, sangat sulit mencari guru yang dengan suka rela dan kesadaran diri mengajukan dirinya kepada sekolah untuk mengikutinya. Kondisi ini ternyata terjadi di hampir setiap satuan pendidikan baik di tingkat SD, SMP, maupun di tingkat SMA/MA/SMK. Sangat ironis memang.
Namun itulah kondisi real di lapangan. Apakah ini sudah sifat dan karakter sebagian besar bangsa Indonesia yang cenderung enggan berkompetisi? Meskipun sebenarnya keikutsertaan pada ajang lomba, sangat dibutuhkan untuk mengetahui potensi diri secara nyata. Lomba merupakan ajang refleksi diri sejauh mana potensi diri kita dibanding dengan para guru yang lain di luar institusinya (tidak seperti jago kandang yang hanya menang di kandangnya sendiri, namun ketika di kandang lawan tidak ada apa-apanya).