Oleh Syahrizal---Islam dipenuhi oleh berbagai peristiwa sejarah yang sampai kini masih diperingati dengan berbagai cara menurut tradisi daerah masing-masing. Insiden sejarah tersebut bukan hanya diperingati sebatas seremonial belaka, tetapi juga mengandung makna dan hikmah yang besar untuk dipahami dan diimplementasikan oleh setiap insan muslim dalam kehidupan kesehariannya.
Di antara insiden bersejarah dalam Islam tersebut adalah nuzul Al Qur’an pada malam Senin, 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad, atau 6 Agustus Tahun 610 M. Pada malam inilah wahyu pertama datang (turun) di Gua Hira’. Allah Swt menamakan malam tersebut dengan malam Al Qadar.
Peristiwa Nuzul Al Qur’an ini diperingati oleh seluruh umat Islam di dunia tak terkecuali di Indonesia dan di Aceh, khususnya. Peristiwa bersejarah ini penting diperingati minimal dapat mengingatkan kita dan anak cucu kita kapan peristiwa tersebut terjadi. Tapi yang lebih penting bagi kita dan generasi yang akan datang adalah adanya kesadaran kita untuk membaca, mempelajari, memahami, dan mengamalkan pesan-pesan al-Qur’an dalam segala aspek kehidupan serta mendidik anak kita dengan Al-Qur’an sehingga mereka menjadi generasi qur’ani pada masa mendatang.
Realita yang terjadi dalam memperingati nuzul Al Qur’an sangat kontra dengan yang telah disebutkan di atas. Hal ini dapat diketahui dalam praktek peringatan nuzul al-Qur’an tersebut khususnya di Aceh. Peringatan nuzul Al Qur’an biasa dilakukan secara simbolik dan seremonial baik di masjid atau tempat lain dengan menampilkan penceramah untuk mengupas tentang sejarah turunnya Al Qur’an dan hikmahnya.
Setelah itu para jama’ah dan mustami’ pulang ke rumah masing-masing meneruskan aktivitasnya, tanpa memahami, menghayati dan berusaha mengamalkan pesan-pesan spiritual yang terkandung dalam peringatan nuzul al-Qur’an tersebut. Kalau mau dipelajari dan dipahami, ada beberapa hal penting yang perlu dijadikan bahan renungan tentang Al Qur’an tersebut, antara lain:
Pertama, Al Qur’an adalah kalam Allah Swt, bukan kalam malaikat, Nabi Muhammad Saw, iblis/syetan/jin, manusia, dan makhluk lainnya. Kalam Allah Swt tidak sama dengan kalam makhluknya. Kalam-Nya adalah mukjizat dan tiada suatu kekuatanpun yang mampu menyamai apalagi menandingi kalam-Nya. Dalam Al Qur’an Allah Swt menantang makhluknya mengenai hal ini sebagaimana firman-Nya, artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan-Nya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. (Al-Isra’: 88)
Realita yang terjadi dalam memperingati nuzul Al Qur’an sangat kontra dengan yang telah disebutkan di atas. Hal ini dapat diketahui dalam praktek peringatan nuzul al-Qur’an tersebut khususnya di Aceh. Peringatan nuzul Al Qur’an biasa dilakukan secara simbolik dan seremonial baik di masjid atau tempat lain dengan menampilkan penceramah untuk mengupas tentang sejarah turunnya Al Qur’an dan hikmahnya.
Setelah itu para jama’ah dan mustami’ pulang ke rumah masing-masing meneruskan aktivitasnya, tanpa memahami, menghayati dan berusaha mengamalkan pesan-pesan spiritual yang terkandung dalam peringatan nuzul al-Qur’an tersebut. Kalau mau dipelajari dan dipahami, ada beberapa hal penting yang perlu dijadikan bahan renungan tentang Al Qur’an tersebut, antara lain:
Pertama, Al Qur’an adalah kalam Allah Swt, bukan kalam malaikat, Nabi Muhammad Saw, iblis/syetan/jin, manusia, dan makhluk lainnya. Kalam Allah Swt tidak sama dengan kalam makhluknya. Kalam-Nya adalah mukjizat dan tiada suatu kekuatanpun yang mampu menyamai apalagi menandingi kalam-Nya. Dalam Al Qur’an Allah Swt menantang makhluknya mengenai hal ini sebagaimana firman-Nya, artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan-Nya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. (Al-Isra’: 88)
Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad Saw dapat melemahkan dan mengalahkan semua orang atau makhluk lain yang menantangnya antara lain karena mempunyai uslub yang indah, sarat makna dan sebagainya.
Kedua, meyakini bahwa al-Qur’an sampai saat ini masih tetap terjaga kemurniannya. Dalam hal ini Allah Swt sendiri yang menjaganya sebagaimana janji-Nya yaitu, artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Dzikr (al-Qur’an) dan Kami pula yang menjaganya”. (Al-Hijr: 9)
Maha benar Allah Swt dengan segala firman-Nya. Firman Allah Swt di atas membuktikan bahwa kitab suci al-Qur’an masih tetap terpelihara kemurniannya. Tiada satupun syakal, huruf, kata, dan kalimat yang mampu dirubah dan dihilangkan untuk digantikan dengan bentuk lain oleh makhluk-Nya. Hal ini berbeda dengan kitab Injil dan Taurat atau kitab-kitab samawi lainnya yang mampu dirubah oleh tangan-tangan manusia menurut kehendak hati dan nafsunya.
Ketiga, perlu diyakini juga bahwa al-Qur’an membicarakan segala aspek kehidupan, mulai dari persoalan yang kecil sampai persoalan yang besar. Hal ini dapat dibuktikan dari ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri. Ada ayat al-Qur’an yang mengatur tentang politik, ekonomi, perdagangan, hubungan internasional, etika berperang, etika pergaulan, proses penciptaan alam, proses penciptaan manusia, dan sebagainya yang tidak mungkin diutarakan di sini.
Keempat, kita harus kembali kepada Al Qur’an sebagai pedoman hidup seluruh umat manusia (hudallinnas) dan petunjuk kepada jalan yang benar (lurus). Dewasa ini umat Islam terasa sudah terlampau jauh dari pesan-pesan Al Qur’an. Salah satu buktinya adalah banyak orang Islam yang tidak mampu dan tidak mau membaca Al Qur’an. Al Qur’an hanya dijadikan sebagai hiasan lemari di rumah, kantor, ruangan-ruangan tertentu dan sebagainya tanpa disentuh, dibuka, dibaca, dan dipahami maknanya untuk diiplementasikan dalam kehidupan.
Umat Islam sekarang lebih suka dan lebih banyak membaca koran dari membaca Al Qur’an. Koran dijadikan sebagai bacaan wajib setiap hari, sementara Al Qur’an hanya dibaca saat ditimpa musibah/kemalangan dan di bulan suci Ramadhan. Makanya jangan heran kalau jumlah umat Islam mayoritas, tapi jumlah yang mampu dan mau membaca Al Qur’an hanya minoritas.
Inilah gambaran umat Islam pada era modern ini yang selalu disibukkan oleh persoalan duniawi tanpa menghiraukan persoalan ukhrawi. Karena terlalu sibuk dengan persoalan duniawi tersebut, maka mayoritas umat Islam tidak sempat lagi membaca ayat-ayat Allah Swt yang tersurat. Al Qur’an tidak dijadikan lagi sebagai pedoman hidup dan petunjuk kepada jalan yang benar. Inilah sebabnya Allah Swt menurunkan berbagai bentuk peringatan yang seakan tidak akan habisnya kepada umat Islam dalam bentuk gempa, tsunami, penyakit, longsor, banjir, dan sebagainya agar mereka
Umat Islam sekarang lebih suka dan lebih banyak membaca koran dari membaca Al Qur’an. Koran dijadikan sebagai bacaan wajib setiap hari, sementara Al Qur’an hanya dibaca saat ditimpa musibah/kemalangan dan di bulan suci Ramadhan. Makanya jangan heran kalau jumlah umat Islam mayoritas, tapi jumlah yang mampu dan mau membaca Al Qur’an hanya minoritas.
Inilah gambaran umat Islam pada era modern ini yang selalu disibukkan oleh persoalan duniawi tanpa menghiraukan persoalan ukhrawi. Karena terlalu sibuk dengan persoalan duniawi tersebut, maka mayoritas umat Islam tidak sempat lagi membaca ayat-ayat Allah Swt yang tersurat. Al Qur’an tidak dijadikan lagi sebagai pedoman hidup dan petunjuk kepada jalan yang benar. Inilah sebabnya Allah Swt menurunkan berbagai bentuk peringatan yang seakan tidak akan habisnya kepada umat Islam dalam bentuk gempa, tsunami, penyakit, longsor, banjir, dan sebagainya agar mereka
kembali kepada Al Qur’an dengan cara memahami pesan-pesannya dan mengamalkannya dalam kehidupan.
Akhirnya dapat disimpulkan, Al Qur’an itu harus dibaca, dipelajari, dihafal, dan diterjemahkan dalam kehidupan praktis. Muslim yang belum bisa membaca Al Qur’an harus diajarkan agar bisa membaca Al Qur’an. Sementara muslim yang sudah mampu membaca Al Qur’an diharapkan beranjak ke tahap berikutnya yaitu mampu menghafal, lalu memahami kandungan, dan kemudian mempraktekkannya dalam kehidupan.
Akhirnya dapat disimpulkan, Al Qur’an itu harus dibaca, dipelajari, dihafal, dan diterjemahkan dalam kehidupan praktis. Muslim yang belum bisa membaca Al Qur’an harus diajarkan agar bisa membaca Al Qur’an. Sementara muslim yang sudah mampu membaca Al Qur’an diharapkan beranjak ke tahap berikutnya yaitu mampu menghafal, lalu memahami kandungan, dan kemudian mempraktekkannya dalam kehidupan.
Sumber : http://www.harian-aceh.com